ARBITRAGE
PRICING THEORY, MODEL EMPIRIS,
DAN PENGUJIAN EMPIRIS MODEL KESEIMBANGAN
Model APT berusaha menjelaskan
hubungan antara risiko dengan tingkat keuntungan. APT berbeda dengan CAPM dalam
dua hal. Pertama, proses keseimbangan yang dibayangkan oleh APT adalah
mekanisme arbitrase. Arbitrase dilakukan sampai harga yang terjadi sama untuk
semua aset yang mempunyai risiko yang sama, mengikuti hukum the law of one
price. Dalam CAPM, investor berusaha memaksimumkan kepuasannya (utility function). Kedua, jika CAPM
sampai pada kesimpulan bahwa faktor pasar mempegaruhi tingkat keuntungan yang
diharapkan, APT sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset.
1.
ARBITRAGE PRICING THEORY (APT)
1.1.
Proses Arbitrage
Kegiatan arbitrase adalah kegiatan
yang berusaha memperoleh keuntungan arbitrase. Keuntungan arbitrase adalah
keuntungan yang diperoleh dengan modal nol dan risiko nol. Proses arbitrase
akan mendorong berlakunya hukum satu harga (the
law of one price). Hukum tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa aset
dengan karakteristik yang sama akan terjual dengan harga yang sama dimanapun di
dunia ini.
Misalkan Rf = 10%, tingkat
keuntungan M = 20%, beta M = 1, beta Y = 0,5,dan tingkat keuntungan Y = 12%.
Untuk melihat apakah ada kesempatan arbitrase atau tidak,kita melakukan langkah
berikut ini.
1.
Membentuk
portofolio M dengan Rf (dengan nama X), dengan komposisi sedemikian rupa
sehingga beta portofolio X tersebut sama dengan beta Y, yaitu 0,5. Beta
portofolio merupakan rata-rata tertimbang beta individualnya sebagai berikut
ini.
bP = ∑wibi
Dimana bP = beta
portofolio
∑ =
simbol penjumlahan
Wi =
bobot atau proporsi untuk aset i
bi = beta aset i
Karena bM = 1, dan bRF = 0, maka proporsi masing-masing
adalah 50%. Dengan demikian beta portofolio X akan sama dengan 0,5.
bx = (0,5 × 0) + (0,5 × 1) = 0,5
Kemudian kita menghitung tingkat
keuntungan sebagai berikut.
E(Rx) = (0,5 × 20%) + (0,5 × 10) =
15%
Kita bisa membandingkan tingkat
keuntungan dan beta portofolio X dengan Y sebagai berikut ini.
E(RX) = 15% bX =0,5
E(RY) = 12% bY =0,5
Dari perbandingan tersebut terlihat
bahwa meskipun risiko sistematis keduanya sama, yaitu 0,5, tetapi tingkat
keuntungannya berbeda. Berarti ada kesempatan arbitrase.
2.
Arbitrase
bisa dilakukan dengan jalan men-short sales aset Y, kemudian kas masuk dipakai
untuk membeli portofolio X, yang berarti membeli 50% pada portofolio M dan 50%
pada aset bebas risiko.
Keuntungan dan risiko kegiatan
tersebut adalah (X minus Y) :
Keuntungan = 15% - 12% = 2%
Tambahan risiko = 0,5 – 0,5 = 0
Tambahan modal = 0 karena kas masuk (modal) diperoleh dari
short sales Y (pinjam aset Y, kemudian dijual, dikembalikan periode
berikutnya).
3.
Proses semacam
itu akan menurunkan harga Y dan menaikkan harga X. Kemudian tingkat keuntungan
Y akan naik, tingkat keuntungan X akan turun. Setelah tingkat keuntungan Y dan
X sama, maka tidak ada lagi kesempatan arbitrase.
1.2.
Model Arbitrage Pricing Theory
Proses penghasilan return (return
generating process) menurut APT bisa dirumuskan sebagai berikut ini.
Ri = E(Ri) + b1 (RF1 - E(RF1)) + ....... + bN (RFN - E(RFN)) + ei
Dimana Ri =
tingkat keuntungan (return) aset i yang terjadi
E(Ri) =
tingkat keuntungan aset i yang diharapkan
b1 ... bN =
risiko sistematis aset terhadap faktor 1 ... faktor N
RF1...RFN = tingkat keuntungan dari faktor 1 ...faktor N
Faktor tersebut bisa berupa faktor
pasar (RM, seperti dalam CAPM) atau faktor lainnya, seperti faktor ekonomi (pertumbuhan
GNP, inflasi, dan sejenisnya). Persamaan diatas mengatakan bahwa return suatu aset sama dengan (1) return
yang diharapkan,(2) perubahan faktor yang tidak diharapkan (RF-E(RF), (3) sensitifitas
aset i terhadap perubahan faktor pada (2), dan (3) random term yang mencerminkan faktor spesifik perusahaan/industri.
1.3.
Perbandingan CAPM dengan APT
CAPM dan APT merupakan dua model
yang berusaha menjelaskan return atau tingkat keuntungan. Keduanya ‘bersaing’
menjadi model terbaik yang bisa menjelaskan return. CAPM lebih tua, dan saat
ini diaplikasikan lebih banyak. CAPM juga banyak mempengaruhi model akademis.
Tetapi meskipun nampaknya CAPM lebih mapan, perkembangan selanjutnya
menunjukkan bahwa validitas CAPM diragukan. Pengujian empiris terbaru dan juga
kritik lainnya mempertanyakan validitas CAPM. Validitas CAPM dengan demikian
masih merupakan kontroversi. Model APT masih relatif baru. Pengujian empiris
dan pengembangannya masih dalam tahap awal. Karena itu APT belum bisa
menggantikan posisi CAPM.
Tabel berikut ini meringkaskan
perbandingan antara CAPM dengan model APT.
Tabel. Perbandingan CAPM dengan APT
|
CAPM
|
APT
|
Bentuk
|
E(Ri) = RF + b1 (E(RM) – RF)
|
E(Ri) = RF + bi1 (E(RM) – RF) +bi2 (E(RM) – RF)
|
Return Generation Process
|
Return aset merupakan fungsi dari faktor
tunggal, yaitu return pasar.
|
Return aset merupakan fungsi dari
beberapa faktor, misal produksi nasional, inflasi, dan bisa juga return pasar.
|
Proses
|
Investor memaksimumkan utilitas (fungsi kepuasan).
Pertama, melalui set yang efisien investasi berisiko, kemudian set yang
efisien dengan memasukkan aset bebas risiko.
|
Investor melakukan kegiatan arbitrase untuk
memanfaatkan ketidakseimbangan harga. Kegiatan tersebut membuat tercapainya
harga keseimbangan.
|
Kelebihan
|
Proses yang digambarkan oleh CAPM (Set yang efisien,
memaksimumkan kepuasan) cukup intuitif dan jelas. Penggunaan hanya satu
faktor cukup sederhana, sehingga aplikasi lebih mudah.
|
Banyak faktor yang digunakan membuat perhitungan
keuntungan yang diharapkan dengan APT tidak memerlukan portofolio pasar yang
sulit diestimasi.
|
Kelemahan
|
CAPM memerlukan portofolio pasar. Secara teoritis
portofolio tersebut akan memasukkan semua ast yang ada didunia, baik yang
diperdagangkan maupun yang tidak. Penggunaan proksi tidak menyelesaikan
masalah, karena banyak proksi dan hsail satu proksi dengan yang lainnya bisa
berbeda.
|
APT menggunakan beberapa faktor, tetapi faktor
tersebut tidak pernah dijelaskan apa saja dan berapa. Karena itu
interprestasi dan aplikasi APT menjadi tidak jelas dan sulit.
|
2.
PENGUJIAN
MODEL KESEIMBANGAN
2.1.
Data
Historis dan Model Berdasarkan Ekspektasi (Pengharapan) dalam CAPM
Salah satu masalah dalam pengujian
CAPM adalah CAPM ditulis dalam bentuk ekspektasi (pengaharapan). Pengujian
empiris dengan demikian harus melihat proksi untuk variabel pengaharapan
tersebut. Tentu saja hal tersebut merupakan masalah yang sangat sulit
karena pengharapan sangat sulit
diobservasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, data historis sering digunakan
sebagai proksi pengharapan di masa mendatang. Asumsi yang digunakan adalah pola
data historis adalah stabil, dan secara umum (rata-rata) dalam jangka panjang,
pengharapan investor akan terbukti benar. Dua argumen tersebut mendasari
dipakainya data historis sebagai pengukur harapan (ekspektasi) di masa
mendatang.
Argumen lain menggunakan pendekatan sebagai
berikut ini. Menurut model pasar, return suatu saham dipengaruhi oleh return pasar
sebagai berikut ini.
R~it=αi+bi(R~Mt)+e~it
Dimana tanda ~ berarti variabel
tersebut bersifat random. Return yang
diharapkan bisa dituliskan sebagai berikut ini.
E(Ri) = αi + bi E(RM)
atau E(Ri) – αi - biE(RM) = 0
Dengan menambahkan term tersebut
(yang nilainya 0, sehingga penambahan term tersebut tidak akan berpengaruh), dan
kemudian kita melakukan penyederhanaan, maka akan diperoleh :
R~it = E(Ri) + bi {R~Mt-E(RM)} + e~it
Model CAPM sederhana bisa dituliskan
sebagai berikut.
E(Ri) = RF + bi[E(RM) - RF]
Persamaan di atas dimasukkan kembali
ke persamaan sebelumnya, kemudian dilakukan penyerderhanaan, maka kita akan
memperoleh :
R~it = RF + bi (R~Mt - RF) +
e~it
Model
tersebut menunjukkan bahwa data historis
nampaknya bisa digunakan untuk menguji CAPM. Tetapi ada tiga asumsi yang
mendasari model tersebut :
1.
Model pasar
berlaku untuk setiap periode.
2.
Model CAPM
berlaku untuk setiap periode.
3.
Beta stabil
selama waktu pengamatan.
Pengujian dengan model diatas,
merupakan pengujian secara simultan ketiga hipotesis tersebut.
2.2.
Pengujian
Empiris CAPM
Meskipun CAPM
dibangun atas dasar asumsi yang tidak
realistis, tetapi baik tidaknya CAPM akan ditentukan oleh kemampuannya
menjelaskan fenomena. Lebih spesifik lagi, pertanyaan yang bisa diajukan adalah
apakah CAPM didukung oleh data empiris. Pengujian empiris bisa dilakukan dengan
melihat apakah implikasi CAPM didukung oleh bukti empiris.
Beberapa implikasi dari CAPM bisa
ditarik, yaitu :
1.
Semakin
besar risiko sistematis pasar (bi) akan semakin tinggi tingkat keuntungan aset
tersebut.
2.
Hubungan
antara risiko sistematis dengan tingkat keuntungan (return) bersifat linear.
3.
Hanya
risiko sistematis yang dikompensasi oleh kenaikan tingkat keuntungan (return). Risiko atau faktor lainnya
tidak ada hubungannya dengan return.
2.2.1. Pengujian oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972)
Balck, jensen,
dan Scholes (1972) menguji CAPM cukup mendalam. Mereka melakukan pengujian CAPM
melalui pengujian time-series dan cross-sectional. Pertama mereka menguji model
time-series CAPM.
Rit – RFt = αi + bi (RMt - RFt) + eit
Jika CAPM menjelaskan return, maka kita bisa mengharapkan
nilai αi = 0. Kita bisa menggunakan saham (sampel) yang banyak, dan kemudian
untuk setiap sampel, dijalankan regresi seperti di atas. Kemudian distribusi alpha (αi) atau intercept bisa dilihat dan diuji, apakah sama dengan nol atau
tidak. Pengujian bisa dilakukan dengan, misal uji t-Test untuk melihat apakah rata-rata
intercept sama dengan nol. Yang menjadi
masalah, pengujian semacam itu mengasumsikan kovarians residual antarsaham sama
dengan nol (eit, ejt = 0). Pada kenyataannya, kovarians residual
tersebut tidak sama dengan nol, dengan kata lain residual saham tersebut tidak independen
satu sama lain. Dengan Demikian pengujian sederhana dengan mengamati distribusi
αi tidak bisa dilakukan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pengujian
time-series portofolio bisa digunakan.
Untuk setiap periode, kita membentuk portofolio yang kemudian dihitung return atas portofolio tersebut, sebagai
berikut ini.
RPt – RFt = αP
+ bP (RMt - RFt) +
ePt
Subscript P mengacu pada portofolio. Karena
portofolio menggunakan banyak saham, dan karena varians residual dari regresi
yang menggunakan portofolio bisa mengakomodasi kemungkinan ketergantungan
cross-sectional antarsaham, pengujian statistik parameter αP (intercept) bisa dilakukan.
Pada waktu Black, Jensen, dan
Scholes (1972) membentuk portofolio, mereka ingin memaksimumkan variasi beta
sehingga efek beta terhadap return bisa dilihat. Cara yang paling mudah adalah
membentuk portofolio berdasarkan beta yang sesungguhnya. Masalah statistik yang
serius adalah kita tidak bisa menghitung beta
sesungguhnya. Dengan demikian akan mempunyai potensi bias. Yang bisa kita
lakukan adalah memperoleh beta
melalui obeservasi (beta observasi
atau observed beta), yang tidak
selalu sama dengan true-beta. Jika
kita meranking beta berdasarkan beta observasi, ada potensi bias seleksi
(selection bias). Saham dengan observed beta yang tinggi mempunyai
kemungkinan yang lebih tinggi untuk menghasilkan kesalahan pengukuran yang positif
(bias yang positif), yang kemudian mengakibatkan intercept-nya (dalam persamaan di atas) menjadi bias negatif
(terlalu Rendah dari yang seharusnya). Hal yang sebaliknya akan terjadi dengan
saham dengan observed beta yang
rendah.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
digunakan variabel instrumen. Variabel tersebut idealnya variabel yang
mempunyai korelasi yang tinggi dengan true-beta
(beta sesungguhnya) tetapi bisa
diobservasi secara independen. Mereka menggunakan observed-beta pada periode sebelumnya sebagai variabel
instrumental. Kemudian mereka menjalankan regresi model CAPM :
RPt – RFt = αP + bP (RMt - RFt) + ePt
Mereka kemudian membandingkan CAPM standar dengan CAPM
versi beta nol (zero beta version). Menurut CAPM versi beta nol, return bisa
dituliskan sebagai berikut ini.
Rit = E(RZ) (1
- bi) + bi RMt + eit
Di mana E(RZ) adalah return portofolio dengan beta sama dengan nol. Sedangkan model
yang diuji adalah :
Rit = αi + RF
(1 - bi) + bi RMt + ei
Jika versi beta sama dengan nol berlaku, maka kedua persamaan diatas jika
digabungkan, dan dihitung intercept-nya,
akan diperoleh :
αi = (E(RZ) - RF) (1 - bi)
E(RZ) lebih besar
dibandingkan dengan RF, karena itu (E(RZ) - RF)
akan bernilai positif. (1 -b) akan bernilai negatif jika b > 1, dan bernilai positif jika b < 1. Dengan demikian, untuk beta yang tinggi, intercept
akan bernilai negatif, dan sebaliknya, untuk beta yang rendah, intercept akan bernilai positif.
Estimasi beta yang bebas dari bias (dari first-pass
regression) penting dilakukan karena estimasi yang salah bisa mengakibatkan
pengujian second pass regression
menjadi tidak benar, karena mengakibatkan bias dalam slope, intercept, dan mengakibatkan residual
(risiko tidak sistematis) menjadi proksi untuk risiko sistematis (dan mempunyai
pengaruh terhadap return, meskipun
pada kenyataannya tidak ada pengaruh). Penggunaan portofolio merupakan salah
satu cara untuk menghilangkan masalah tersebut, karena dalam portofolio,
estimasi yang terlalu tinggi akan dikompensasi dengan estimasi yang terlalu rendah,
yang mengakibatkan efek keseluruhan (error
secara keseluruhan) menjadi nol.
2.2.2. Pengujian oleh Fama dan MacBeth (1973)
Fama dan MacBeth
(1973) melakukan pengujian CAPM dengan menggunakan spesifikasi berikut ini.
Rit = γ0t + γ1tbi + γ2tbi2 + γ3tSei + hit
Spesifikasi tersebut ditunjukan untuk
menguji hipotesis-hipotesis berikut ini.
1. Hipotesis 1 : Menurut CAPM, ada
hubungan antara risiko sistematis
Dengan return. Jika hal tersebut berlaku, kita bisa mengharapkan nilai koefisien
regresi γ1t adalah positif.
2. Hipotesis 2 : Menurut CAPM, hubungan
antara risiko sistematis dengan return
bersifat linear. Jika hipotesis tersebut didukung oleh data empiris, maka koefisien
regresi γ2t mempunyai nol. bi2 (beta dikuadratkan)
dimaksudkan untuk melihat nonlinearitas hubungan antara risiko sistematis dengan return.
3. Hipotesis 3 : Menurut CAPM, hanya risiko
sistematis yang dihargai oleh pasar. Risiko tidak sistematis tidak dihargai oleh
pasar. Sei dipakai sebagai proksi
untuk risiko tidak sistematis (residual). Jika CAPM didukung oleh bukti empiris,
maka koefisien regresi γ3t mempunyai nilai 0.
Mereka melangkah lebih lanjut untuk
melihat apakah pasar berada dalam kondisi keseimbangan (fair game). Jika kondisi tersebut berlaku, maka investor tidak bisa
menggunakan informasi saat ini untuk memperoleh excess return. Secara spesifik, pengujian hipotesis tersebut bisa
dilakukan dengan melihat korelasi antara parameter γ2t , γ3t
pada periode t dengan parameter tersebut pada periode t + 1. Jika korelasi
tersebut kecil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa informasi saat ini tidak bisa
dipakai untuk memprediksi kondisi mendatang, dan dengan demikian tidak bisa
dipakai untuk memperoleh excess return.
Fama dan MacBeth (1973) menghitung
beta first-pass regression dengan
metode yang sama dilakukan oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972). Mereka
membentuk 20 portofolio menggunakan data bulanan 5 tahun sebelumnya (sebelum
pengujian cross-sectional). Kemudian,
menguji second-pass regression dengan
menggunakan data bulan berikutnya (sesudah lima tahun first-pass regression). Kemudian mereka mengulangi prosedur yang
sama, sehingga pengujian cross-sectional
dilakukan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dari periode tahun 1935
sampai dengan tahun 1968. Dengan cara semacam ini, mereka bisa melihat
bagaimana parameter-parameter tersebut berubah dari waktu ke waktu. Nilai
rata-rata untuk setiap parameter (γ0t , γ1t , γ2t
, γ3t) kemudian dihitung dan kemudian diuji signifikansinya, apakah
berbeda dari nol atau tidak.
Hasil pengujian menunjukkan, secara
umum koefisien regresi γ1t menunjukkan rata-rata angka yang positif
dan signifikan berbeda dari nol. Sedangkan regresi γ2t Dan γ3t
menunjukkan rata-rata angka yang kecil dan tidak berbeda dari nol. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa CAPM didukung oleh data empiris.
3.
MODEL EMPIRIS DAN MODEL TIGA FAKTOR
3.1.
Model Empiris
Model empiris dalam penentuan
tingkat keuntungan yang diharapkan didasarkan pada pengamatan empiris, berbeda
dengan model CAPM atau APT yang didasarkan pada pengembangan teori. Model
empiris tersebut melihat adanya pola-pola tertentu di pasar keuangan, yang
mempengaruhi tingkat keuntungan. Bagian atas (pengujian empiris) menunjukkan
adanya anomali-anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh model-model keseimbangan
risiko-return. Anomali tersebut
adalah (antara lain) anomali ukuran (size),
anomali rasio PER (Price Earning Ratio),
dan anomali rasio BE/ME (Book Value to
Market Value of Equity). Dengan menggunakan ketiga anomali tersebut, kita
bisa mengembangkan model empiris, misal seperti berikut ini.
E(Ri) = RF + bi1 (Size) + bi2 (PER) + bi3 (BE/ME) + eit
bi bisa diestimasi berdasarkan data historis (time-series). Setelah bi dihitung, tingkat keuntungan yang diharapkan untuk
suatu aset bisa dihitung.
Karena tidak didasarkan pada teori,
maka kritik utama untuk model empiris adalah pola-pola yang muncul tersebut
kemungkinan hanya muncul karena kebetulan. Pendukung model empiris
berargumentasi bahwa pola yang telah mereka temukan merupakan pola yang nyata,
karena analisis telah dilakukan dengan hati- hati. Barangkali Pendekatan yang
ideal adalah gabungan antara keduanya (empiris dan teori). Teori diperlukan
untuk mengarahkan penelitian dan pembuatan model. Di lain pihak, empiris
diperlukan untuk melihat sejauh mana konsistensi model atau teori dengan
kondisi empiris.
3.2.
Model Tiga Faktor Fama dan French
Barangkali dari anomali-anomali yang
telah ditemukan, Fama dan French (1992) berargumentasi bahwa garis SML
seharusnya dipengaruhi oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah :
1. Beta CAPM, yang mengukur risiko
pasar.
2. Size (ukuran) saham, yang dilihat
melalui nilai kapitalisasi pasar saham (jumlah saham yang beredar dikalikan
dengan harga saham). Saham kecil cenderung mempunyai risiko yang lebih tinggi,
karena itu mempunyai tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan oleh
saham besar.
3. Nilai buku saham dibagi dengan nilai
pasar saham (Book-to-Market Ratio). Nilai
rasio B/M yang besar mencerminkan investor yang pesimitis terhadap masa depan
perusahaan. Sebaliknya, jika investor optimistik terhadap masa depan
perusahaan, maka nilai B/M akan kecil (nilai pasar saham jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai bukunya). Saham dengan nilai B/M besar cenderung
lebih berisiko (kemungkinan bangkrut lebih besar) dibandingkan dengan saham
dengan nilai B/M rendah, dan dengan demikian mempunyai tingkat keuntungan yang
diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan saham dengan B/M rendah.
Fama dan French menguji secara empiris
ketiga variabel tersebut. Mereka menemukan variabel ukuran dan B/M mempengaruhi
cross-sectional return, tetapi
variabel beta pasar ternyata tidak
berpengaruh. Kemudian Farma dan French kemudian mengembangkan model tiga
faktor, yang bisa dituliskan sebagai berikut ini.
Ri - RF = α + bi (RM - RF) + γi (SMB) + δi (HML)
+ ei
Dimana Ri = Return
saham i historis
RF
= Return
aset bebas risiko historis
α
= Intercept
bi = Beta
pasar atau koefisien regresi
RM = Return
atau tingkat keuntungan pasar historis
γi
= Koefisien regresi saham i terhadap return SMB
SMB = Small
Minus Big, yaitu selisih return portofolio
saham kecil dengan portofolio saham besar
Δi = Koefisien regresi saham i terhadap return HML
HML = High Minus Low, Yaitu selisih
return portofolio saham dengan portofolio saham dengan B/M rendah
Ei = Error
term
Fama dan French membentuk SMB sebagai berikut. Mereka meranking semua saham
yang aktif berdasarkan ukuran saham. Kemudian mereka membagi saham ke dalam dua
kelompok, yaitu saham besar dengan saham kecil. Kemudian return untuk setiap kelompok dihitung, kemudian return kelompok saham besar dikurangkan
dari return kelompok saham kecil. Untuk
HML, mereka membentuk portofolio yang terdiri dari 30% saham dengan nilai B/M
tertinggi dan 30% saham dengan nilai B/M terendah. Kemudian return HML diperoleh dengan mengurangi return kelompok B/M tinggi dengan return kelompok B/M rendah.
Aplikasi model tiga faktor untuk menghitung return yang diharapkan untuk suatu aset
(mirip dengan SML pada CAPM) adalah:
E(Ri) = RF + α + βi (RM
– RF) + γi (SMB) + δi (HML)
Misalkan
untuk saham Microsoft, kita menghitung regresi time-series (secara terpisah) untuk suatu saham dengan variabel
tidak bebas adalah return saham dan
variabel bebas adalah return pasar,
return SMB, dan return HML. Hasil
yang diperoleh yaitu koefisien regresi adalah sebagai berikut ini.
α = 0,0 βi = 1,2 γi = 0,3 δi
= 0,2
Misalkan
premi risiko pasar adalah 10% (RM – RF), return aset bebas risiko adalah 10%.
Misalkan berdasarkan perhitungan data historis, return SMB adalah 4%, dan return
HML adalah 6%. Return yang diharapkan
untuk Microsoft dengan menggunakan model tiga faktor:
E(Ri) = 10 + 0,0 + 1,2 (10) + 0,3 (4) + 0,2 (6) =
13,6%
Perhatikan
jika kita menggunakan CAPM, maka tingkat keuntungan yang diharapkan untuk
Microsoft adalah:
E(Ri) = RF + βi (RM
– RF) = 10 + 1,2 (10) = 11,2%
Terlihat
perhitungan tingkat keuntungan yang berbeda untuk kedua model tersebut.
Pertimbangan (judgment) dari analis
sangat diperlukan untuk menentukan tingkat keuntungan yang disyaratkan dengan
tepat.
ok
BalasHapus