Minggu, 03 Desember 2017

BAB 10



ARBITRAGE PRICING THEORY, MODEL EMPIRIS, DAN PENGUJIAN EMPIRIS MODEL KESEIMBANGAN

Model APT berusaha menjelaskan hubungan antara risiko dengan tingkat keuntungan. APT berbeda dengan CAPM dalam dua hal. Pertama, proses keseimbangan yang dibayangkan oleh APT adalah mekanisme arbitrase. Arbitrase dilakukan sampai harga yang terjadi sama untuk semua aset yang mempunyai risiko yang sama, mengikuti hukum the law of one price. Dalam CAPM, investor berusaha memaksimumkan kepuasannya (utility function). Kedua, jika CAPM sampai pada kesimpulan bahwa faktor pasar mempegaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan, APT sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset.

1.             ARBITRAGE PRICING THEORY (APT)
1.1.       Proses Arbitrage

Kegiatan arbitrase adalah kegiatan yang berusaha memperoleh keuntungan arbitrase. Keuntungan arbitrase adalah keuntungan yang diperoleh dengan modal nol dan risiko nol. Proses arbitrase akan mendorong berlakunya hukum satu harga (the law of one price). Hukum tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa aset dengan karakteristik yang sama akan terjual dengan harga yang sama dimanapun di dunia ini.
Misalkan Rf = 10%, tingkat keuntungan M = 20%, beta M = 1, beta Y = 0,5,dan tingkat keuntungan Y = 12%. Untuk melihat apakah ada kesempatan arbitrase atau tidak,kita melakukan langkah berikut ini.

1.             Membentuk portofolio M dengan Rf (dengan nama X), dengan komposisi sedemikian rupa sehingga beta portofolio X tersebut sama dengan beta Y, yaitu 0,5. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang beta individualnya sebagai berikut ini.

bP = ∑wibi

Dimana      bP     = beta portofolio
                          = simbol penjumlahan
                   Wi     = bobot atau proporsi untuk aset i
                    bi      = beta aset i

Karena bM = 1, dan bRF = 0, maka proporsi masing-masing adalah 50%. Dengan demikian beta portofolio X akan sama dengan 0,5.

bx = (0,5 × 0) + (0,5 × 1) = 0,5

Kemudian kita menghitung tingkat keuntungan sebagai berikut.

E(Rx) = (0,5 × 20%) + (0,5 × 10) = 15%

Kita bisa membandingkan tingkat keuntungan dan beta portofolio X dengan Y sebagai berikut ini.

E(RX) = 15%                  bX =0,5
E(RY) = 12%                  bY  =0,5

Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa meskipun risiko sistematis keduanya sama, yaitu 0,5, tetapi tingkat keuntungannya berbeda. Berarti ada kesempatan arbitrase.

2.             Arbitrase bisa dilakukan dengan jalan men-short sales aset Y, kemudian kas masuk dipakai untuk membeli portofolio X, yang berarti membeli 50% pada portofolio M dan 50% pada aset bebas risiko.

Keuntungan dan risiko kegiatan tersebut adalah (X minus Y) :

Keuntungan = 15% - 12% = 2%
Tambahan risiko = 0,5 – 0,5 = 0
Tambahan modal = 0     karena kas masuk (modal) diperoleh dari short sales Y (pinjam aset Y, kemudian dijual, dikembalikan periode berikutnya).

3.             Proses semacam itu akan menurunkan harga Y dan menaikkan harga X. Kemudian tingkat keuntungan Y akan naik, tingkat keuntungan X akan turun. Setelah tingkat keuntungan Y dan X sama, maka tidak ada lagi kesempatan arbitrase.

1.2.       Model Arbitrage Pricing Theory

Proses penghasilan return (return generating process) menurut APT bisa dirumuskan sebagai berikut ini.

Ri = E(Ri) + b1 (RF1 - E(RF1)) + ....... + bN (RFN - E(RFN)) + ei
Dimana            Ri                    = tingkat keuntungan (return) aset i yang terjadi
E(Ri)               = tingkat keuntungan aset i yang diharapkan
b1 ... bN          = risiko sistematis aset terhadap faktor 1 ... faktor N
RF1...RFN      = tingkat keuntungan dari faktor 1 ...faktor N

Faktor tersebut bisa berupa faktor pasar (RM, seperti dalam CAPM) atau faktor lainnya, seperti faktor ekonomi (pertumbuhan GNP, inflasi, dan sejenisnya). Persamaan diatas mengatakan bahwa return suatu aset sama dengan (1) return yang diharapkan,(2) perubahan faktor yang tidak diharapkan (RF-E(RF), (3) sensitifitas aset i terhadap perubahan faktor pada (2), dan (3) random term yang mencerminkan faktor spesifik perusahaan/industri.

1.3.       Perbandingan CAPM dengan APT

CAPM dan APT merupakan dua model yang berusaha menjelaskan return atau tingkat keuntungan. Keduanya ‘bersaing’ menjadi model terbaik yang bisa menjelaskan return. CAPM lebih tua, dan saat ini diaplikasikan lebih banyak. CAPM juga banyak mempengaruhi model akademis. Tetapi meskipun nampaknya CAPM lebih mapan, perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa validitas CAPM diragukan. Pengujian empiris terbaru dan juga kritik lainnya mempertanyakan validitas CAPM. Validitas CAPM dengan demikian masih merupakan kontroversi. Model APT masih relatif baru. Pengujian empiris dan pengembangannya masih dalam tahap awal. Karena itu APT belum bisa menggantikan posisi CAPM.
Tabel berikut ini meringkaskan perbandingan antara CAPM dengan model APT.


Tabel. Perbandingan CAPM dengan APT


CAPM
APT
Bentuk
E(Ri) = RF + b1 (E(RM) – RF)
E(Ri) = RF + bi1 (E(RM) – RF)  +bi2 (E(RM) – RF) 
Return Generation Process
Return aset merupakan fungsi dari faktor tunggal, yaitu return pasar.
Return aset merupakan fungsi dari beberapa faktor, misal produksi nasional, inflasi, dan bisa juga return pasar.
Proses
Investor memaksimumkan utilitas (fungsi kepuasan). Pertama, melalui set yang efisien investasi berisiko, kemudian set yang efisien dengan memasukkan aset bebas risiko.
Investor melakukan kegiatan arbitrase untuk memanfaatkan ketidakseimbangan harga. Kegiatan tersebut membuat tercapainya harga keseimbangan.
Kelebihan
Proses yang digambarkan oleh CAPM (Set yang efisien, memaksimumkan kepuasan) cukup intuitif dan jelas. Penggunaan hanya satu faktor cukup sederhana, sehingga aplikasi lebih mudah.
Banyak faktor yang digunakan membuat perhitungan keuntungan yang diharapkan dengan APT tidak memerlukan portofolio pasar yang sulit diestimasi.
Kelemahan
CAPM memerlukan portofolio pasar. Secara teoritis portofolio tersebut akan memasukkan semua ast yang ada didunia, baik yang diperdagangkan maupun yang tidak. Penggunaan proksi tidak menyelesaikan masalah, karena banyak proksi dan hsail satu proksi dengan yang lainnya bisa berbeda.
APT menggunakan beberapa faktor, tetapi faktor tersebut tidak pernah dijelaskan apa saja dan berapa. Karena itu interprestasi dan aplikasi APT menjadi tidak jelas dan sulit.


2.             PENGUJIAN MODEL KESEIMBANGAN
2.1.       Data Historis dan Model Berdasarkan Ekspektasi (Pengharapan) dalam CAPM
Salah satu masalah dalam pengujian CAPM adalah CAPM ditulis dalam bentuk ekspektasi (pengaharapan). Pengujian empiris dengan demikian harus melihat proksi untuk variabel pengaharapan tersebut. Tentu saja hal tersebut merupakan masalah yang sangat sulit karena  pengharapan sangat sulit diobservasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, data historis sering digunakan sebagai proksi pengharapan di masa mendatang. Asumsi yang digunakan adalah pola data historis adalah stabil, dan secara umum (rata-rata) dalam jangka panjang, pengharapan investor akan terbukti benar. Dua argumen tersebut mendasari dipakainya data historis sebagai pengukur harapan (ekspektasi) di masa mendatang.
Argumen lain menggunakan pendekatan sebagai berikut ini. Menurut model pasar, return suatu saham dipengaruhi oleh return pasar sebagai berikut ini.

R~it=αi+bi(R~Mt)+e~it

Dimana tanda ~ berarti variabel tersebut bersifat random. Return yang diharapkan bisa dituliskan sebagai berikut ini.

E(Ri) = αi + bi E(RM)  atau  E(Ri) – αi - biE(RM) = 0

Dengan menambahkan term tersebut (yang nilainya 0, sehingga penambahan term tersebut tidak akan berpengaruh), dan kemudian kita melakukan penyederhanaan, maka akan diperoleh :

R~it = E(Ri) + bi {R~Mt-E(RM)} + e~it

Model CAPM sederhana bisa dituliskan sebagai berikut.

E(Ri) = RF + bi[E(RM) - RF]

Persamaan di atas dimasukkan kembali ke persamaan sebelumnya, kemudian dilakukan penyerderhanaan, maka kita akan memperoleh :
R~it = RF + bi (R~Mt - RF) + e~it

Model tersebut menunjukkan bahwa data historis  nampaknya bisa digunakan untuk menguji CAPM. Tetapi ada tiga asumsi yang mendasari model tersebut :

1.             Model pasar berlaku untuk setiap periode.
2.             Model CAPM berlaku untuk setiap periode.
3.             Beta stabil selama waktu pengamatan.

Pengujian dengan model diatas, merupakan pengujian secara simultan ketiga hipotesis tersebut.

2.2.       Pengujian Empiris CAPM

Meskipun CAPM dibangun atas dasar  asumsi yang tidak realistis, tetapi baik tidaknya CAPM akan ditentukan oleh kemampuannya menjelaskan fenomena. Lebih spesifik lagi, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah CAPM didukung oleh data empiris. Pengujian empiris bisa dilakukan dengan melihat apakah implikasi CAPM didukung oleh bukti empiris.

Beberapa implikasi dari CAPM bisa ditarik, yaitu :
1.             Semakin besar risiko sistematis pasar (bi) akan semakin tinggi tingkat keuntungan aset tersebut.
2.             Hubungan antara risiko sistematis dengan tingkat keuntungan (return) bersifat linear.
3.             Hanya risiko sistematis yang dikompensasi oleh kenaikan tingkat keuntungan (return). Risiko atau faktor lainnya tidak ada hubungannya dengan return.

2.2.1. Pengujian oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972)

Balck, jensen, dan Scholes (1972) menguji CAPM cukup mendalam. Mereka melakukan pengujian CAPM melalui pengujian time-series dan cross-sectional. Pertama mereka menguji model time-series CAPM.
Rit – RFt = αi + bi (RMt - RFt) + eit

Jika CAPM menjelaskan return, maka kita bisa mengharapkan nilai αi = 0. Kita bisa menggunakan saham (sampel) yang banyak, dan kemudian untuk setiap sampel, dijalankan regresi seperti di atas. Kemudian distribusi alpha (αi) atau intercept bisa dilihat dan diuji, apakah sama dengan nol atau tidak. Pengujian bisa dilakukan dengan, misal uji t-Test untuk melihat apakah rata-rata intercept sama dengan nol. Yang menjadi masalah, pengujian semacam itu mengasumsikan kovarians residual antarsaham sama dengan nol (eit, ejt = 0). Pada kenyataannya, kovarians residual tersebut tidak sama dengan nol, dengan kata lain residual saham tersebut tidak independen satu sama lain. Dengan Demikian pengujian sederhana dengan mengamati distribusi αi tidak bisa dilakukan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pengujian time-series portofolio bisa digunakan. Untuk setiap periode, kita membentuk portofolio yang kemudian dihitung return atas portofolio tersebut, sebagai berikut ini.

RPt – RFt = αP + bP (RMt - RFt) + ePt

Subscript P mengacu pada portofolio. Karena portofolio menggunakan banyak saham, dan karena varians residual dari regresi yang menggunakan portofolio bisa mengakomodasi kemungkinan ketergantungan cross-sectional antarsaham, pengujian statistik parameter αP (intercept) bisa dilakukan.
Pada waktu Black, Jensen, dan Scholes (1972) membentuk portofolio, mereka ingin memaksimumkan variasi beta sehingga efek beta terhadap return bisa dilihat. Cara yang paling mudah adalah membentuk portofolio berdasarkan beta yang sesungguhnya. Masalah statistik yang serius adalah kita tidak bisa menghitung beta sesungguhnya. Dengan demikian akan mempunyai potensi bias. Yang bisa kita lakukan adalah memperoleh beta melalui obeservasi (beta observasi atau observed beta), yang tidak selalu sama dengan true-beta. Jika kita meranking beta berdasarkan beta observasi, ada potensi bias seleksi (selection bias). Saham dengan observed beta yang tinggi mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk menghasilkan kesalahan pengukuran yang positif (bias yang positif), yang kemudian mengakibatkan intercept-nya (dalam persamaan di atas) menjadi bias negatif (terlalu Rendah dari yang seharusnya). Hal yang sebaliknya akan terjadi dengan saham dengan observed beta yang rendah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan variabel instrumen. Variabel tersebut idealnya variabel yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan true-beta (beta sesungguhnya) tetapi bisa diobservasi secara independen. Mereka menggunakan observed-beta pada periode sebelumnya sebagai variabel instrumental. Kemudian mereka menjalankan regresi model CAPM :

RPt – RFt = αP + bP (RMt - RFt) + ePt

Mereka kemudian membandingkan CAPM standar dengan CAPM versi beta nol (zero beta version). Menurut CAPM versi beta nol, return bisa dituliskan sebagai berikut ini.

Rit = E(RZ) (1 - bi) + bi RMt + eit

Di mana E(RZ) adalah return portofolio dengan beta sama dengan nol. Sedangkan model yang diuji adalah :

Rit = αi + RF (1 - bi) + bi RMt + ei
Jika versi beta sama dengan nol berlaku, maka kedua persamaan diatas jika digabungkan, dan dihitung intercept-nya, akan diperoleh :

αi = (E(RZ) - RF) (1 - bi)

E(RZ) lebih besar dibandingkan dengan RF, karena itu (E(RZ) - RF) akan bernilai positif. (1 -b) akan bernilai negatif jika b > 1, dan bernilai positif jika b < 1. Dengan demikian, untuk beta yang tinggi, intercept akan bernilai negatif, dan sebaliknya, untuk beta yang rendah, intercept akan bernilai positif.
Estimasi beta yang bebas dari bias (dari first-pass regression) penting dilakukan karena estimasi yang salah bisa mengakibatkan pengujian second pass regression menjadi tidak benar, karena mengakibatkan bias dalam slope, intercept, dan mengakibatkan residual (risiko tidak sistematis) menjadi proksi untuk risiko sistematis (dan mempunyai pengaruh terhadap return, meskipun pada kenyataannya tidak ada pengaruh). Penggunaan portofolio merupakan salah satu cara untuk menghilangkan masalah tersebut, karena dalam portofolio, estimasi yang terlalu tinggi akan dikompensasi dengan estimasi yang terlalu rendah, yang mengakibatkan efek keseluruhan (error secara keseluruhan) menjadi nol.

2.2.2. Pengujian oleh Fama dan MacBeth (1973)

Fama dan MacBeth (1973) melakukan pengujian CAPM dengan menggunakan spesifikasi berikut ini.

Rit = γ0t + γ1tbi + γ2tbi2 + γ3tSei + hit

Spesifikasi tersebut ditunjukan untuk menguji hipotesis-hipotesis berikut ini.
1.    Hipotesis 1 : Menurut CAPM, ada hubungan antara risiko sistematis
Dengan return. Jika hal tersebut berlaku, kita bisa mengharapkan nilai koefisien regresi γ1t adalah positif.
2.    Hipotesis 2 : Menurut CAPM, hubungan antara risiko sistematis dengan return bersifat linear. Jika hipotesis tersebut didukung oleh data empiris, maka koefisien regresi γ2t mempunyai nol. bi2 (beta dikuadratkan) dimaksudkan untuk melihat nonlinearitas hubungan antara risiko sistematis dengan return.

3.    Hipotesis 3 : Menurut CAPM, hanya risiko sistematis yang dihargai oleh pasar. Risiko tidak sistematis tidak dihargai oleh pasar. Sei  dipakai sebagai proksi untuk risiko tidak sistematis (residual). Jika CAPM didukung oleh bukti empiris, maka koefisien regresi γ3t mempunyai nilai 0.

Mereka melangkah lebih lanjut untuk melihat apakah pasar berada dalam kondisi keseimbangan (fair game). Jika kondisi tersebut berlaku, maka investor tidak bisa menggunakan informasi saat ini untuk memperoleh excess return. Secara spesifik, pengujian hipotesis tersebut bisa dilakukan dengan melihat korelasi antara parameter γ2t , γ3t pada periode t dengan parameter tersebut pada periode t + 1. Jika korelasi tersebut kecil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa informasi saat ini tidak bisa dipakai untuk memprediksi kondisi mendatang, dan dengan demikian tidak bisa dipakai untuk memperoleh excess return.
Fama dan MacBeth (1973) menghitung beta first-pass regression dengan metode yang sama dilakukan oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972). Mereka membentuk 20 portofolio menggunakan data bulanan 5 tahun sebelumnya (sebelum pengujian cross-sectional). Kemudian, menguji second-pass regression dengan menggunakan data bulan berikutnya (sesudah lima tahun first-pass regression). Kemudian mereka mengulangi prosedur yang sama, sehingga pengujian cross-sectional dilakukan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dari periode tahun 1935 sampai dengan tahun 1968. Dengan cara semacam ini, mereka bisa melihat bagaimana parameter-parameter tersebut berubah dari waktu ke waktu. Nilai rata-rata untuk setiap parameter (γ0t , γ1t , γ2t , γ3t) kemudian dihitung dan kemudian diuji signifikansinya, apakah berbeda dari nol atau tidak.
Hasil pengujian menunjukkan, secara umum koefisien regresi γ1t menunjukkan rata-rata angka yang positif dan signifikan berbeda dari nol. Sedangkan regresi γ2t Dan γ3t menunjukkan rata-rata angka yang kecil dan tidak berbeda dari nol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa CAPM didukung oleh data empiris.

3.             MODEL EMPIRIS DAN MODEL TIGA FAKTOR
3.1.       Model Empiris

Model empiris dalam penentuan tingkat keuntungan yang diharapkan didasarkan pada pengamatan empiris, berbeda dengan model CAPM atau APT yang didasarkan pada pengembangan teori. Model empiris tersebut melihat adanya pola-pola tertentu di pasar keuangan, yang mempengaruhi tingkat keuntungan. Bagian atas (pengujian empiris) menunjukkan adanya anomali-anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh model-model keseimbangan risiko-return. Anomali tersebut adalah (antara lain) anomali ukuran (size), anomali rasio PER (Price Earning Ratio), dan anomali rasio BE/ME (Book Value to Market Value of Equity). Dengan menggunakan ketiga anomali tersebut, kita bisa mengembangkan model empiris, misal seperti berikut ini.

E(Ri) = RF + bi1 (Size) + bi2 (PER) + bi3 (BE/ME) + eit

bi bisa diestimasi berdasarkan data historis (time-series). Setelah bi dihitung, tingkat keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset bisa dihitung.
Karena tidak didasarkan pada teori, maka kritik utama untuk model empiris adalah pola-pola yang muncul tersebut kemungkinan hanya muncul karena kebetulan. Pendukung model empiris berargumentasi bahwa pola yang telah mereka temukan merupakan pola yang nyata, karena analisis telah dilakukan dengan hati- hati. Barangkali Pendekatan yang ideal adalah gabungan antara keduanya (empiris dan teori). Teori diperlukan untuk mengarahkan penelitian dan pembuatan model. Di lain pihak, empiris diperlukan untuk melihat sejauh mana konsistensi model atau teori dengan kondisi empiris.

3.2.       Model Tiga Faktor Fama dan French

Barangkali dari anomali-anomali yang telah ditemukan, Fama dan French (1992) berargumentasi bahwa garis SML seharusnya dipengaruhi oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah :
1.      Beta CAPM, yang mengukur risiko pasar.
2.      Size (ukuran) saham, yang dilihat melalui nilai kapitalisasi pasar saham (jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga saham). Saham kecil cenderung mempunyai risiko yang lebih tinggi, karena itu mempunyai tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan oleh saham besar.
3.      Nilai buku saham dibagi dengan nilai pasar saham (Book-to-Market Ratio). Nilai rasio B/M yang besar mencerminkan investor yang pesimitis terhadap masa depan perusahaan. Sebaliknya, jika investor optimistik terhadap masa depan perusahaan, maka nilai B/M akan kecil (nilai pasar saham jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai bukunya). Saham dengan nilai B/M besar cenderung lebih berisiko (kemungkinan bangkrut lebih besar) dibandingkan dengan saham dengan nilai B/M rendah, dan dengan demikian mempunyai tingkat keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan saham dengan B/M rendah.

Fama dan French menguji secara empiris ketiga variabel tersebut. Mereka menemukan variabel ukuran dan B/M mempengaruhi cross-sectional return, tetapi variabel beta pasar ternyata tidak berpengaruh. Kemudian Farma dan French kemudian mengembangkan model tiga faktor, yang bisa dituliskan sebagai berikut ini.

Ri - RF = α + bi (RM - RF) + γi (SMB) + δi (HML) + ei

Dimana         Ri         = Return saham i historis
                     RF        = Return aset bebas risiko historis
                     α           = Intercept
                     bi          = Beta pasar atau koefisien regresi
                     RM      = Return atau tingkat keuntungan pasar historis
                     γi          = Koefisien regresi saham i terhadap return SMB
SMB   = Small Minus Big, yaitu selisih return portofolio saham kecil     dengan  portofolio saham besar
                     Δi        = Koefisien regresi saham i terhadap return HML
                     HML    = High Minus Low, Yaitu selisih return portofolio saham dengan portofolio saham dengan B/M rendah
                     Ei        = Error term

Fama dan French membentuk SMB  sebagai berikut. Mereka meranking semua saham yang aktif berdasarkan ukuran saham. Kemudian mereka membagi saham ke dalam dua kelompok, yaitu saham besar dengan saham kecil. Kemudian return untuk setiap kelompok dihitung, kemudian return kelompok saham besar dikurangkan dari return kelompok saham kecil. Untuk HML, mereka membentuk portofolio yang terdiri dari 30% saham dengan nilai B/M tertinggi dan 30% saham dengan nilai B/M terendah. Kemudian return HML diperoleh dengan mengurangi return kelompok B/M tinggi dengan return kelompok B/M rendah.
Aplikasi model tiga faktor untuk menghitung return yang diharapkan untuk suatu aset (mirip dengan SML pada CAPM) adalah:

E(Ri) = RF + α + βi (RM – RF) + γi (SMB) + δi (HML)

Misalkan untuk saham Microsoft, kita menghitung regresi time-series (secara terpisah) untuk suatu saham dengan variabel tidak bebas adalah return saham dan variabel bebas adalah return pasar, return SMB, dan return HML. Hasil yang diperoleh yaitu koefisien regresi adalah sebagai berikut ini.

α = 0,0 βi = 1,2 γi = 0,3 δi = 0,2

Misalkan premi risiko pasar adalah 10% (RM – RF), return aset bebas risiko adalah 10%. Misalkan berdasarkan perhitungan data historis, return SMB adalah 4%, dan return HML adalah 6%. Return yang diharapkan untuk Microsoft dengan menggunakan model tiga faktor:

E(Ri) = 10 + 0,0 + 1,2 (10) + 0,3 (4) + 0,2 (6) = 13,6%
Perhatikan jika kita menggunakan CAPM, maka tingkat keuntungan yang diharapkan untuk Microsoft adalah:

E(Ri) = RF + βi (RM – RF) = 10 + 1,2 (10) = 11,2%

Terlihat perhitungan tingkat keuntungan yang berbeda untuk kedua model tersebut. Pertimbangan (judgment) dari analis sangat diperlukan untuk menentukan tingkat keuntungan yang disyaratkan dengan tepat.

1 komentar:

BAB 14

ANALISIS INVESTASI LANJUTAN : PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE 1.      METODE ADJUSTED PRESENT VALUE (APV) 1.1. Kerangka APV ...