Jumat, 29 Desember 2017

BAB 14

ANALISIS INVESTASI LANJUTAN : PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE

1.    METODE ADJUSTED PRESENT VALUE (APV)
1.1. Kerangka APV
Variasi lain dari WACC (weighted average cost of capital, atau biaya modal rata-rata tertimbang) dalam analisis investasi adalah APV (Adujsted Present Value). APV menggunakan prinsip value additive (penambahan nilai), dengan mengambil ide dari model struktur modal Modigliani Miller (MM). Menurut MM dengan pajak, nilai perusahaan dengan hutang adalah nilai perusahaan 100% saham ditambah dengan penghematan pajak dari hutang (bunga bisa dipakai sebagai pengurang pajak). APV dengan demikian dihitung dengan menambahkan nilai base-case plus manfaat dari pinjaman (financing), seperti berikut ini.

APV = Base-case NPV + NPV dari keputusan pembelanjaan karena memutuskan  melakukan proyek

Base-case NPV dihitung melalui asumsi proyek dilakukan dengan menggunakan saham semuanya (100% saham). Sumber NPV dari keputusan pendanaan (financing decision) tidak hanya dari penghematan pajak, tetapi juga dari sumber lain, misal pinjaman yang disubsidi oleh pemerintah.

1.2.  Peningkatan Kapasitas Pinjaman
Misalkan perusahaan ingin mempertahankan rasio hutang sebesar 40%. Dengan bertambahnya aset, maka hutang yang bisa dipinjam oleh perusahaan juga akan semakin meningkat (untuk mempertahankan rasio yang sama). Jika perusahaan melakukan usulan investasi, maka asetnya akan bertambah, dan karenanya kapasitas pinjaman juga akan bertambah. Apakah kapasitas pinjaman yang bertambah tersebut mempunyai nilai? Jika bunga yang dibayarkan bisa dipakai sebagai pengurang pajak, maka semakin besar bunga yang dibayarkan, akan semakin besar penghematan pajak yang diperoleh. Dengan kata lain, penambahan kapasitas hutang akan mendatangkan nilai bagi perusahaan.
Misalkan ada suatu usulan investasi yang memerlukan modal sebesar Rp.100 juta, usulan investasi berusia sepuluh tahun, tingkat bunga pinjaman adalah 20%, pajak adalah 40%. Jika perusahaan tidal melakukan investasi tersebut, maka tidak ada tambahan utang yang diakibatkan oleh investasi tersebut. Karena itu tidak ada penghematan pajak yang diperoleh. Dengan melakukan investasi, maka aset perusahaan akan meningkat sebesar Rp.100 juta. Kapasitas utang perusahaan akan meningkat sebesar 0,4 × Rp.100 juta = Rp.40 juta.
Jika kita ingin menghitung APV (Adjusted Present Value), maka kita harus menghitung manfaat tambahan dari keputusaan pendanaan. Dengan kata lain, kita harus menghitung penghematan pajak karena semakin meningkatkan utang. Misalkan, untuk mempermudah analisis, utang sebesar Rp 40 juta tersebut tetap bertahan selama sepuluh tahun. Utang baru dilunasi pada akhir proyek. Contoh tersebut sebenarnya tidak konsisten dengan pernyataan perusahaan yang ingin mempertahankan 40% rasio utangnya. Nilai proyek akan didepresiasi, sehingga nilai buku proyek pertahunnya akan menurun. Jika nilai tersebut semakin menurun, dan perusahaan ingin mempertahankan rasio utang 40%, maka nilai utangnya akan semakin turun dari tahun ketahun. Untuk menyerdehanakan perhitungan, diasumsikan utang sebesar Rp 40 juta pertahun tetap bertahan sampai akhir proyek.
Penghematan pajak bisa dihitung sebagai berikut ini.
Tahun
Utang yang Beredar
Bunga
Penghematan Pajak (bunga × pajak)
PV Penghematan Pajak (disc rate = 20%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 40 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 8 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
Rp 3,2 juta
2.666.667
2.222.222
1.851.852
1.543.210
1.286.008
1.071.674
   893.061
   744.218
   620.181
   516.818
Total PV Penghematan Pajak
        13.415.911

Penghematan pajak sebasar sekitar Rp 13 juta diperoleh melalui peningkatan kapasitas utang. Penghematan tersebut bisa ditambhakan ke dalam analisis APV (hasil dari keputusan pendanaan).

2.     PERBANDINGAN APV DENGAN WACC
Secara teoritis, analisis investasi dengan metode APV dan WACC akan menghasilkan angka dan kesimpulan yang sama. Dengan menggunakan metode APV, dimana hanya penghematan pajak saja yang kita analisis (penghematan lainnya seperti subsidi pinjaman dianggap tidak ada).
2.1.   Analisis dengan APV
          Dengan menggunakan APV, maka kita akan menghitung formula berikut ini.

          APV = NPV 100% saham + PV penghematan pajak dari bunga
                  = ( Kas / ks ) + ( Tingat pajak × Utang)

Karena perusahaan ingin menggunakan tingkat utang sebesar 405 dari nilai pasar perusahaan, maka kita akan menghitung nilai perusahaan dengan utang terlebih dulu, kemudian kita bisa mengitung besarnya utang yang akan dimiliki oleh perusahaan. Perhitungannya adalah sebagai berikut ini.

          Vd = Nilai 100% saham + Pajak × 40% × Vd

Dimana Vd = nilai perusahaan dengan menggunakan utang.

2.2.    Analisis dengan WACC
          Jika kita menggunakan WACC, kita akan menghitung biaya modal rata-rata tertimbang. Pertama, kita harus menghitung biaya modal saham yang baru, yang mencerminkan tambahan hutang. Dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh MM seperti berikut ini, kita bisa menghitung ks yang baru.

          ks = ro + B / S (1 – tc) (ro – rb)

Net Present Value (NPV) dengan menggunakan WACC adalah.

          NPV = (Kas tersedia untuk pemegang saham / WACC) – Investasi

2.3.    Perbandingan APV dengan WACC
Pembahasan di muka menunjukkan bahwa APV dan WACC secara teoritis menghasilkan kesimpulan yang sama. Keduanya juga menggunakan aliran kas yang tidak dipengaruhi oleh keputusan pendanaan. Keduanya berbeda sebagai berikut ini. Pada APV, NPV dasar (base) kemudian ditambahkan dengan PV manfaat dari keputusan pendanaan. Sedangkan pada WACC, pengaruh keputusan pendanaan terlihat pada tingkat diskonto (biaya modal rata-rata tertimbang). APV menghitung pengaruh keputusan pendanaan secara langsung. Sedangkan pada WACC pengaruh keputusan pendanaan dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui tingkat diskonto.
Pertanyaan berikutnya adalah dalam situasi apa WACC atau APV lebih baik dipakai. Berikut ini beberapa pedoman untuk menentukan mana yang sebaiknya dipakai, dan dalam situasi yang bagaimana.
1.      Jika risiko proyek konstan selama usia proyek tersebut, maka biaya modal saham dan biaya modal rata-rata tertimbang akan konstan selama proyek tersebut dilakukan. Dalam situasi tersebut, WACC cukup praktis digunakan. Dengan menggunakan APV, kita tidak perlu mengidentifikasi satu-persatu efek keputusan pendanaan. Jika risiko proyek berubah-ubah selama usia proyek tersebut, maka biaya modal juga akan berubah-ubah. Pada situasi ini menghitung efek keputusan pendanaan secara langsung, seperti yang dilakukan oleh APV akan lebih praktis.
2.      WACC berbicara mengenai rasio hutang, sedangkan APV berbicara mengenai tingkat (jumlah) hutang. Jika jumlah hutang bisa diprediksi dengan baik, maka APV cukup praktis digunakan. Jika tingkat (jumlah) hutang sulit diprediksi, maka penggunaan APV menjadi lebih sulit. Contoh, jika rasio hutang terhadap nilai perusahaan tetap, kemudian nilai perusahaan berubah-ubah, maka jumlah hutang juga akan berubah-ubah. Jumlah hutang menjadi lebih sulit dihitung Tetapi jika rasio hutang berubah-ubah, maka WACC menjadi sulit diaplikasikan.

3.       MENGHITUNG BETA UNLEVERED
3.1.    Tanpa Pajak
Untuk menggunakan APV, kita membutuhkan biaya modal saham untuk perusahaan yang menggunakan 100% saham (ro). Dengan menggunakan formula CAPM, biaya modal saham 100%, bisa dihitung sebagai berikut ini.

ro = Rf + βU (Rm – Rf)

dimana βU adalah beta perusahaan dengan 100% saham. Tetapi, biasanya perusahaan menggunakan hutang sebagian. Jarang ada perusahaan yang menggunakan saham 100%.Kita bisa menggunakan formula CAPM untuk menghitung biaya modal saham perusahaan (yang biasanya menggunakan hutang) seperti berikut ini.

rs = Rf + β (Rm – Rf)
β dalam hal ini adalah beta saham atau risiko sistematis saham (karena dihitung melalui saham yang listing di bursa) yang dihitung melalui regresi model pasar (market model), atau menggunakan formula β = Kovarians return pasar dengan return saham / Varians pasar. Model pasar bisa dituliskan sebagai berikut ini.

Ri = αi + βi (Rm) + ei

βi yang diperoleh merupakan risiko sistematis saham i. Perhatikan bahwa perusahaan biasanya menggunakan hutang sehingga βi tersebut merupakan beta yang mengandung unsur hutang. Padahal kita menginginkan beta 100% saham untuk menghitung biaya modal saham. Kita bisa melakukan penyesuaian dengan ‘menghilangkan’ pengaruh beta hutang sebagai berikut ini.
Beta perusahaan dengan saham 100% (beta aset) bisa dianggap terdiri dari beta hutang dan beta saham. Beta aset tersebut merupakan beta rata-rata tertimbang dari setiap beta individualnya, seperti berikut ini.

βASET = (B / (B + S)) βUTANG + (S / (B + S)) βSAHAM

βutang biasanya sangat kecil, sehingga bisa dianggap nol. Karena itu persamaan di atas bisa dituliskan sebagai berikut ini.

βASET = (S / (B + S)) βSAHAM

Dengan melakukan beberapa manipulasi, beta saham bisa dihitung sebagai berikut ini.

βSAHAM = βASET (1 + (utang / Saham))

3.2.    Dengan Pajak
Dalam dunia dengan pajak, kita bisa menggunakan formula Modigliani-Miller sebagai berikut ini untuk menurunkan beta aset (beta perusahaan dengan 100% saham).
VL = VU + tc . B = B + S
Persamaan di atas mengatakan bahwa nilai perusahaan dengan hutang sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang ditambah dengan PV penghematan pajak. Term yang paling kanan mengatakan bahwa nilai perusahaan dengan hutang sama dengan nilai hutang ditambah nilai saham.
Persamaan (6) menunjukkan bahwa beta aset merupakan rata-rata tertimbang dari beta sumber dana individual. Karena B + S = VL dan VL = VU + tc.B, maka beta aset bisa dituliskan berikut ini.

βASET = (B / VL) βUTANG + (S / VL) βSAHAM  .... (9)
atau
βASET = (VU / VL) βU + ((tc.B) / VL) βUTANG   .... (10)
dimana βU adalah beta untuk perusahaan unlevered (tidak menggunakan utang).
Dengan menyamakan (9) dan (10), maka:

(B / VL) βUTANG + (S / VL) βSAHAM = (VU / VL) βU + ((tc.B) / VL) βUTANG
(S / VL) βSAHAM = (VU / VL) βU + βUTANG [ ((tc.B) – B) / VL ]
βSAHAM = (VL / S) (VU / VL) βU + βUTANG [ ((VL.tc.B) – VL.B) / (VL.S) ]
βSAHAM = (VU / S) βU + βUTANG [ ((tc.B) – B) / S ]

Persamaan MM untuk nilai perusahaan dengan hutang adalah VL = VU + t.B. Dengan kata lain, VU = VL – t.B. Karena VL = B + S, maka kita juga bisa menuliskan sebagai berikut: VU = B + S – t.B. Dengan demikian persamaan di atas bisa dituliskan kembali sebagai berikut ini.

βSAHAM = ((B + S – t.B) / S) βU + βUTANG [((tc.B) – B) / S]
βSAHAM = βU.B + βU.S – βU.t.B + βHUTANG.t.B – βB.B / S

Persamaan di atas bisa disederhanakan menjadi berikut ini.

βSAHAM = βU + βU (B / S) – βU (t.B / S) + βUTANG (t.B / S) (B / S) – βB
βSAHAM = βU + [ βU – βU.t + βUTANG.t – βB ] (B / S)
βSAHAM = βU + [ (1 – t) (βU – βB) (B / S) ]
βSAHAM = βU (1 + (1 – t) (B) / S )

Beberapa implikasi bisa dilihat dari persamaan di atas. Pada perusahaan dengan utang, (B / S) adalah positif. Karena itu term (1 – t) (B / S) akan bernilai positif. Dengan demikian beta saham perusahaan yang menggunakan utang lebih besar dibandingkan dengan beta saham 100%. Hasil semacam itu masuk akal karena utang meningkatkan risiko perusahaan. Tetapi peningkatan beta tersebut tidak setajam pada situasi tanpa pajak.

Selasa, 26 Desember 2017

BAB 13

KEPUTUSAN STRUKTUR MODAL

1.        KONSEP LEVERAGE
Arti leverage secara harfiah (literal) adalah pengungkit. Pengungkit biasanya digunakan untuk membantu mengangkat beban yang berat. Dalam keuangan, leverage juga mempunyai maksud yang serupa. Lebih spesifik lagi, leverage bisa digunakan untuk meningkatkan tingkat keuntungan yang diharapkan.

1.1.  Operating Leverage
Operating leverage bisa diartikan sebagai seberapa besar perusahaan menggunakan beban tetap operasional. Beban tetap operasional biasanya berasal dari biaya depresiasi, biaya produksi dan pemasaran yang bersifat tetap (misal gaji bulanan karyawan). Sebagai kebalikannya adalah beban (biaya) variabel operasional. Komposisi biaya tetap/variabel yang berbeda mempunyai implikasi yang berbeda terhadap risiko dan keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan. Komposisi biaya tetap/variabel yang berbeda mempunyai implikasi yang berbeda terhadap risiko dan keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan.
Perusahaan yang menggunakan biaya tetap dalam proporsi yang tinggi (relatif terhadap biaya variabel) dikatakan menggunakan operating leverage yang tinggi. Dengan kata lain, degree of operating leverage (DOL) untuk perusahaan tersebut tinggi. Perubahan penjualan yang kecil akan mengakibatkan perubahan pendapatan yang tinggi (lebih sensitif). Jika perusahaan mempunyai degree of operating leverage (DOL) yang tinggi, tingkat penjualan yang tinggi akan menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tetapi sebaliknya, jika tingkat penjualan turun secara signifikan, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian. Dengan demikian DOL seperti pisau dengan dua mata: bisa membawa manfaat, sebaliknya bisa merugikan.
Derajat leverage operasi (Degree of Operating Leverage) bisa diartikan sebagai efek perubahan penjualan terhadap pendapatan (profit). Secara formal, degree of operating leverage (DOL) bisa dituliskan sebagai berikut ini.



Profit bisa ditulis sebagai berikut :
Profit = P = (c.Q) – F
dimana c = marjin kontribusi = (P – V)
P = harga produk per-unit
V = biaya variabel per-unit
Q = jumlah unit produk yang terjual
F = biaya tetap
DOL = (ΔP / P) / (ΔQ / Q)
    = (Δ (cQ – F) ) / (cQ – F) / (ΔQ / Q)
    = (cΔQ – ΔF) ) / (cQ – F) / (ΔQ / Q) karena ΔF = 0, (biaya tetap),
Maka :
   = (cΔQ.Q) / (cQ – F) ΔQ
   = c.Q / (cQ – F)

1.2.  Leverage Keuangan (Financial Leverage)
Leverage keuangan bisa diartikan sebagai besarnya beban tetap keuangan (finansial) yang digunakan oleh perusahaan. Beban tetap keuangan tersebut biasanya berasal dari pembayaran bunga untuk hutang yang digunakan oleh perusahaan. Karena itu pembicaraan leverage keuangan berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Perusahaan yang menggunakan beban tetap (bunga) yang tinggi berarti menggunakan hutang yang tinggi. Perusahaan tersebut dikatakan mempunyai leverage keuangan yang tinggi, yang berarti degree of financial leverage (DFL) untuk perusahaan tersebut juga tinggi.
Degree of financial leverage mempunyai implikasi terhadap earning per-share perusahaan. Untuk perusahaan yang mempunyai DFL yang tinggi, perubahan EBIT (Earning Before Interest and Taxes) akan menyebabkan perubahan EPS yang tinggi. Sama seperti degree of operating leverage (DOL), DFL seperti pisau bermata dua: jika EBIT meningkat, EPS akan meningkat secara signifikan, sebaliknya, jika EBIT turun, EPS juga akan turun secara signifikan.
Derajat leverage keuangan (Degree of Financial Leverage) bisa diartikan sebagai efek perubahan EBIT terhadap pendapatan (profit). Secara formal, degree of financial leverage (DFL) bisa dituliskan sebagai berikut.



Persamaan di atas bisa diringkaskan sebagai berikut ini.
Laba setelah pajak = (EBIT – Bunga) (1 – Tc),
Tambahan laba setelah pajak = Δ(EBIT – Bunga) (1 – Tc)
           = (ΔEBIT – Δbunga) ( 1 – Tc)
Karena Δbunga = 0, maka bisa ditulis kembali menjadi (ΔEBIT) (1 – Tc)
Dengan demikian DFK bisa ditulis kembali menjadi :
        

           DFL = EBIT / (EBIT - Bunga)
Semakin tinggi hutang yang dipakai, semakin tinggi degree of financial leverage. Penggunaan leverage keuangan yang besar mempunyai implikasi yang sama dengan penggunaan leverage operasi yang besar, yaitu meningkatkan ‘leverage’. Dengan menggunakan leverage yang tinggi, perubahan EBIT yang sedikit akan meningkatkan EAT lebih besar.

1.3.  Kombinasi Leverage Operasi dengan Leverage Keuangan
Leverage operasi berkaitan dengan efek perubahan penjualan terhadap EBIT (laba sebelum bunga dan pajak). Sementara leverage keuangan berkaitan dengan efek perubahan EBIT terhadap EAT (laba setelah pajak). Perusahaan bisa mengkombinasikan keduanya untuk memperoleh leverage gabungan.
Derajat leverage gabungan (DCL atau Degree of Combined Leverage) bisa dihitung sebagai berikut ini.



DCL = DOL × DFL
    = { [ c.Q / (cQ – F) ] × [ EBIT / (EBIT – Bunga) ] }
    = { [ c.Q / (cQ – F) ] × [ (cQ – F) / ( (cQ – F) – Bunga) ] }
    = c.Q / (c.Q – F – Bunga)

2.        PENDEKATAN EBIT – EPS
Konsep leverage memberikan semacam pendahuluan terhadap efek utang terhadap keuntungan dan risiko. Dengan singkat kata, utang yang tinggi menaikkan keuntungan yang diharapkan tetapi juga menaikkan risiko.
Kita bisa menghitung titik EBIT ‘break-even’ dimana alternatif saham baru akan menghasilkan EPS yang sama dengan alternatif hutang. Berikut ini formula untuk perhitungan tersebut.
Dimana :   EBIT*               = EBIT break-even
                 B1,B2                = bunga yang dibayarkan untuk alternatif 1 dan 2
                 Tc                      = tingkat pajak
                 Dp1, Dp1          = dividen saham preferen untuk alternatif 1 dan 2
                 N1, N2              = jumlah saham yang beredar untuk alternafir 1 dan 2

Pendekatan EBIT-EPS dalam struktur modal bermanfaat bagi manajer keuangan, meski ada beberapa keterbatasan. Pertama, metode tersebut tidak membicarakan pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Kedua, pendekatan tersebut tidak memperhitungkan biaya hutang yang bersifat implisit. Tetapi analisis tersebut bisa memberi gambaran seberapa besar EBIT yang harus diperoleh jika manajer keuangan ingin memperoleh EPS tertentu. Contoh, manajer keuangan bisa menghitung EBIT* (yang menyamakan EPS hutang dengan EPS saham), kemudian manajer keuangan bisa memperkirakan probabilitas memperoleh EBIT di atas EBIT*. Jika probabilitasnya tinggi, maka penggunaan hutang bisa disarankan. Sebaliknya, jika probabilitasnya kecil, manajer keuangan barangkali akan lebih baik menggunakan saham.

3.        RASIO COVERAGE
Rasio coverage ingin melihat seberapa jauh kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban yang bersifat tetap. Semakin tinggi angka tersebut, semakin tinggi (aman) kemampuan perusahaan bisa memenuhi kewajibannya. Rasio coverage bisa dihitung sebagai berikut ini.

Formula di atas hanya memasukkan pembayaran bunga, padahal perusahaan, dalam beberapa situasi, harus juga membayar cicilan pembayaran. Alternatif lain untuk menghitung rasio coverage adalah dengan memasukkan cicilan pembayaran hutang. Rasio debt-service coverage dipakai untuk menghitung kewajiban tersebut.

Cicilan hutang disesuaikan karena cicilan hutang tidak bisa dipakai sebagai pengurang pajak. Disamping beban tetap dari bunga, perusahaan bisa memperoleh beban tetap lainnya. Leasing (sewa) merupakan contoh beban tetap bukan bunga. Beban tetap leasing mempunyai kewajiban yang sama dengan beban tetap hutang. Karena itu, leasing seharusnya juga dimasukkan ke dalam persamaan-persamaan di atas. Rasio fixed charge coverage (FCC) memasukkan sewa, sebagai berikut ini.
           
Manajer keuangan bisa menggunakan rasio-rasio tersebut pada menghitung target struktur modal. Lebih spesifik, jika perusahaan mempunyai target rasio coverage tertentu, atau pihak perbankan (kreditor) menetapkan rasio coverage tertentu, maka penggunaan hutang harus dianalisis efeknya terhadap rasio tersebut.
4.        PENDEKATAN BIAYA MODAL
Manajer keuangan bisa menggunakan pendekatan biaya modal untuk menghitung struktur modal yang optimal, yaitu yang bisa memaksimumkan nilai perusahaan.

5.        PERBANDINGAN DENGAN STRUKTUR MODAL INDUSTRI/PERUSAHAAN LAIN
Metode lain untuk menentukan struktur modal adalah dengan mengikuti struktur modal industri (perusahaan yang sejenis, yang kemudian dirata-rata) atau perusahaan lain (satu atau dua) yang mempunyai risiko bisnis yang sama. 
Jika perusahaan mempunyai struktur modal yang terlalu menyimpang dari rata-rata industri, maka pasar (pihak luar) akan langsung mempertanyakan penyebabnya. Penyimpangan tersebut tidak harus berarti jelek. Jika kebanyakan perusahaan menggunakan struktur modal yang konservatif, maka rata-rata industri untuk struktur modal akan terlihat lebih kecil. Meskipun kemungkinan rasio hutang yang optimal bisa lebih tinggi dari rata-rata industri. Karena itu manajer keuangan harus menyiapkan argumen yang kuat dan meyakinkan jika ingin menggunakan struktur modal yang menyimpang signifikan dari rata-rata industri.

6.        STANDAR DARI PIHAK LUAR
Pihak luar (biasanya pemberi pinjaman) akan menetapkan standar tertentu dalam struktur modal. Jika perusahaan ingin meminjam, maka perusahaan tersebut harus mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pemberi pinjaman. Pada situasi lain, jika perusahaan ingin menerbitkan obligasi (surat hutang), biasanya perusahaan tersebut akan di-rating oleh perusahaan perating (contoh: Pefindo (Indonesia), Moody’s, Standard and Poor’s (Amerika Serikat)). Rating tersebut didasarkan atas beberapa faktor, diantaranya faktor struktur modal (hutang).
Rasio coverage biasanya sering digunakan oleh pemberi pinjaman dan lembaga rating untuk menilai risiko kebangkrutan. Dua rasio yang sering digunakan dalam analisis coverage adalah Times Interest Earned (TIE) dan Fixed Charge Coverage (FCC). Semakin tinggi angka tersebut, semakin aman dari risiko kegagalan membayar kewajiban. Rasio FCC memasukkan semua kewajiban pembayaran, yaitu bunga, sewa, dan cicilan pembayaran hutang (pokok pinjaman). Rasio TIE tidak memasukkan dua komponen terakhir.

7.        ANALISIS ALIRAN KAS
Manajer keuangan bisa menganalisis aliran kas, menggunakan semacam simulasi atau skenario untuk memperkirakan kemampuan membayar pada situasi yang jelek (misal resesi). Setelah mengetahui kemampuan menghasilkan kas pada situasi baik dan jelek, bisa diputuskan tingkat hutang yang optimal. 8. Kombinasi Manajer keuangan tidak harus menggunakan hanya satu metode analisis dalam penentuan struktur modal. Manajer keuangan bisa menggabungkan metodemetode yang telah disebutkan di muka, untuk memperoleh gambaran yang lebih baik dan menyeluruh terhadap struktur modal tersebut.

8.        PERTIMBANGAN LAINNYA
Beberapa hal lainnya yang bisa dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan struktur modal. Berikut ini beberapa faktor tersebut.
1. Stabilitas Penjualan. Perusahaan yang mempunyai penjualan yang stabil, bisa menggunakan hutang yang semakin tinggi. Semakin stabil penjualan suatu perusahaan, semakin mampu perusahaan tersebut menutup kewajiaban-kewajibannya.
2. Tingkat pertumbuhan penjualan. Perusahaan yang mempunyai tingkat penjualan yang tinggi akan lebih menguntungkan jika memakai hutang.
3. Struktur Aset. Perusahaan yang mempunyai aktiva tetap yang lebih besar (yang berusia panjang), apalagi jika digabung dengan tingkat permintaan produk yang stabil, akan menggunakan hutang yang lebih besar.  
4. Sikap Manajemen. Manajemen yang konservatif aktiva tetap yang lebih besar (yang berusia panjang), apalagi jika digabung dengan tingkat permintaan produk yang stabil, akan menggunakan utang yang lebih banyak. 

BAB 14

ANALISIS INVESTASI LANJUTAN : PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE 1.      METODE ADJUSTED PRESENT VALUE (APV) 1.1. Kerangka APV ...